Senin, 13 Januari 2014

Pembenihan Udang Vanamie

 Pembenihan Vannamei

Pendahuluan

Udang merupakan salah satu komoditas perikanan unggulan dalam program revitalisasi perikanan. Pada awalnya jenis udang yang dibudidayakan di air payau adalah udang windu, pemerintah kemudian mengintroduksi udang vannamei untuk membangkitkan kembali usaha perudangan di Indonesia dan dalam rangka diversifikasi komoditas perikanan (Hendrajat dkk, 2007).
Permintaan udang yang semakin meningkat dapat dilihat dari volume ekspor udang Indonesia pada tahun 2010 yang mencapai 63,3 % dari total nilai ekspor hasil perikanan Indonesia sebesar USD 2,34 miliar. Untuk mencapai target produksi udang sebesar 540.000 ton, diperlukan induk sedikitnya 900.000 ekor dan benur udang 52,31 milyar ekor.  Melalui manajemen budidaya yang lebih baik  ditargetkan  produksinya dapat meningkat sebesar 17,38% per tahun, yaitu: 275 ribu ton pada tahun 2010 menjadi 500 ribu ton tahun 2014 (PSDKP Kendari, 2010).

Persiapan

         Persiapan bak pemeliharaan larva dilakukan dengan cara mencuci bak tahap I menggunakan larutan detergen dan kaporit, kemudian dibilas dan dikeringkan.  Selama proses pengeringan dilakukan fungigasi pada ruangan dan bak pemeliharaan larva 2-3 hari sebelum penebaran naupli. Satu hari sebelum penebaran naupli dilakukan pencucian bak tahap II menggunakan larutan vircon aquatic. Hal ini sesuai dengan pendapat FAO (2005), bak yang akan digunakan untuk kegiatan pemeliharan larva dibersihkan menggunakan detergen dengan cara menyikat seluruh permukaan dinding bak.
          Sebelum digunakan, instalasi aerasi dibersihkan menggunakan larutan detergen dan kaporit yang digunakan pada proses pencucian bak. Setelah dicuci, selang aerasi dan batu aerasi direndam dalam larutan formalin selama 24 jam, sedangkan batu pemberat langsung dijemur hingga kering. Sebelum dipasang, selang aerasi direndam dalam larutan formalin. Jarak antar titik aerasi adalah 40 cm dengan jumlah titik aerasi pada modul A 88 titik dan 112 titik pada modul B.
          Pengisian air laut dilakukan satu hari sebelum penebaran naupli dengan volume 40-60% dari kapasitas total. Air laut disterilisasi menggunakan chlorin 15 ppm. Air dinetralisasi menggunakan Natrium thiosulfat 7 ppm. Penebaran naupli dilakukan pada siang hari dengan kepadatan 100 ekor per liter. Sebelum dilakukan penebaran, ember yang berisi naupli dicelupkan dalam larutam trefflan 200 ppm, kemudian dilakukan proses aklimatisasi.
        
          Pemeliharaan
          Kegiatan pemeliharaan larva dibagi menjadi dua fase. Pada proses pergantian fase dilakukan transfer larva yaitu pada saat larva memasuki stadia PL4. Pakan yang diberikan larva udang vannamei berupa pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami yang diberikan berupa Thallasiosirra, Chaetoserros, dan Skeletonema (Fitoplankton) serta artemia (Zooplankton). Hal ini sesuai dengan Edhy dkk (2003), beberapa jenis fitoplankton yang digunakan untuk makanan larva udang adalah skeletonema, tatraselmis, dan Chaetoserros. Sedangkan Harefa (2003), menyatakan naupi artemia merupakan zooplankton yang banyak diberikan pada larva udang. Penyediaan pakan alami jenis fitoplankton dilakukan dengan cara kultur skala laboratorium, intermediet, dan massal.  Pakan algae dierikan pada stadia N5-6 hingga PL1. Frekuensi pemberian algae disesuaikan dengan ketersediaan algae pada media pemeliharaan, untuk itu dilakukan penghitungan sisa algae yang terdapat dalam media pemeliharaan. Algae diberikan dengan cara mentransfer algae dari bak skala massal menuju bak pemeliharaan larva. Penyediaan artemia dilakukan dengan cara kultur tanpa dekapsulasi dengan frekuensi pemberian 3 kali sehari yaitu pukul 09.00, 15.00, dan 21.00 WIB.
          Pakan yang diberikan berupa pakan serbuk, cair, dan flake dan diberikan pada saat larva memasuki stadia zoea1. Jenis pakan buatan yang digunakan yaitu Microparticulado, Microfine Spirulina, Nossan, Flake Negro,  Lancy Shrimp MPL, Epifeed, Frippak, Tzu-Feng Shrimp Flake, Royal Seafood, dan Epiball. Frekuensi pemberian pakan buatan sebanyak 8 kali sehari yaitu pukul 07.00, 11.00, 13.00, 17.00, 19.00, 23.00, 01.00, dan 04.00 WIB dengan dosis pakan yang selalu meningkat seiring meningkatnya umur larva. Selain itu,  juga diberikan bahan-bahan pendukung berupa  Essen Ce, Geno ALA, Vitamin C, dan Chitozan.
          Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan memonitoring parameter kualitas air dan melakukan pergantian air. Parameter kualitas air yang diukur yaitu suhu, DO, salinitas, pH, nitrit, amonium, dan total bakteri yang dilakukan setiap hari kecuali nitrit dan amonium (saat pergantian stadia). Pergantian air dilakukan saat larva memsuki stadia mysis 3 sampai dengan panen. Semakin bertambah tingkatan stadia semakin besar presentase pergantian air yaitu pada stadia M3 sebesar 10% sampai dengan stadia PL10 sebesar 50%. Pada stadia PL4 presentase sebesar 100% karena pada saat itu dilakukan transfer larva. Hal ini sesuai dengan FAO (2007), untuk menjaga kualitas air pada media pemeliharaan larva, harus dilakukan pengelolaan air yang baik. Pengelolaan air dapat dilakukan dengan penyiponan dan pergantian air. Selain itu, diberikan juga probiotik dan kapur tani untuk menekan infeksi dan penyebaran bakteri patogen (probiotik) serta untuk menjaga kestabilan pH (kaptan).

          Jenis penyakit yang menyerang larva selama proses pemeliharaan yaitu vorticella, jamur merah, dan necrosis. Pencegahan yang dilakukan agar tidak terjadi kontaminasi terhadap penyakit yaitu dengan melakukan treatmen air media menggunakan EDTA dan trefflan, penerapan teknologi biosecurity, penyemprotan larutan formalin, penyiraman kaporit pada lantai ruang pemeliharaan, dan fungigasi.
          Untuk mengetahui kondisi dan perkembangan larva dilakukan pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan secara makroskopis dilakukan dengan cara visual untuk mengetahui kondisi tubuh larva, sisa pakan, dan kotoran. Sedangkan pengamatan secara mikroskopis dilakukan dengan bantuan mikroskop untuk mengetahui morfologi tubuh larva, keberadaan parasit dan patogen, serta menilai kondisi kesehatan tubuh larva (Scoring Health Larvae).  Penilaian kesehatan larva meliputi presentase isi usus, presentase cadangan lemak (lipid doplet),  Bolitas HP, Bolitas GI, ada tidaknya penempelan pada tubuh larva (Epibion), ada tidaknya luka pada tubuh larva (Necrosis), pigmentasi, dan Good Muscle Ratio/GMR (Perbandingan antara otot dengan usus).

          Panen

          Pemanenan dilakukan pada saat larva memasuki stadia PL10, tetapi hal tersebut dapat berubah sesuai dengan permitaan konsumen. Hal ini sependapat dengan Wyban dan Sweeney (1991), yang menyatakan normalnya pemanenan benur udang dilakukan pada saat mencapai stadia PL8 sampai dengan PL10. Benur yang dipanen harus mencapai panjang minimal 8 mm, gerakan aktif dan melawan arus, responsif, dan lulus uji stress. Waktu untuk melakukan pemanenan disesuaikan dengan permintaan konsumen dan jarak tempuh yang dibutuhkan untuk mendistribusikan benur.
          Pengepakan benur dilakukan menggunakan kantong plastik ukuran 50x20 cm dengan perbandingan O2 dan air yaitu 1:1. Pada tiap plastik packing diberi karbonaktif sebanyak    10-20 granule. Plastik tersebut diikat dan dikemas dalam styrofoam dengan kapasitas10 plastik per styrofoam, kemudian styrofoam diberi es batu. Kepadatan benur dalam plastik disesuaikan dengan stadia benur dan lamanya waktu pengiriman. Biasanya pada pemanenan stadia PL10 berkisar antara 2000-4000 ekor benur dengan lama waktu pengiriman 1-4 jam. Benur dijual seharga Rp 28 per ekor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar